KOMPASSINDO.COM, Jakarta – Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Jawa Barat, Norman Nurdjaman, menyampaikan berbagai catatan penting mengenai capaian dan tantangan sektor properti di Jawa Barat dalam wawancara bersama awak media pada acara Welcome Dinner Rakernas REI 2025 yang dirangkaikan dengan Excellence Awards 2025 Fiabci Indonesia – REI (Goes to FIABCI World Prix d’Excellence Awards 2026) di Jakarta, Rabu (3/12) malam.
Rakernas REI 2025 mengusung tema Propertinomic 2.0: Mengatasi Hambatan Percepatan Program Tiga Juta Rumah. Tema ini menjadi landasan diskusi nasional untuk memperkuat sinergi pemerintah dan pengembang dalam mempercepat penyediaan hunian bagi masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, Norman menyampaikan apresiasinya kepada panitia Rakernas serta membeberkan pencapaian sekaligus tantangan yang dihadapi DPD REI Jawa Barat sepanjang tahun berjalan. Meskipun realisasi pembangunan rumah di Jawa Barat masih berada di bawah target awal, ia menegaskan bahwa Jawa Barat tetap menjadi salah satu daerah dengan capaian terbesar secara nasional, bersaing ketat dengan provinsi lain seperti Sumatera Selatan.
Namun demikian, sejumlah hambatan signifikan masih mengganggu kinerja sektor properti di wilayahnya. Salah satunya adalah persoalan SLIK OJK yang menjadi kendala umum bagi konsumen maupun pengembang. Menurut Norman, banyak calon pembeli rumah yang gagal lolos SLIK karena hal-hal kecil seperti tunggakan pinjaman daring bernilai rendah, bahkan hanya ratusan ribu rupiah, yang berakibat langsung pada penolakan pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR).
Ia menjelaskan bahwa dari sepuluh aplikasi kredit, minimal lima di antaranya seringkali terkena imbas SLIK akibat catatan lama yang sebetulnya sudah tidak aktif. Banyak warga yang ingin melunasi pinjaman kecil pun mengalami kebingungan karena penyedia layanan sudah tidak beroperasi, sementara datanya tetap tercatat di sistem. Norman berharap pemerintah, OJK, perbankan, dan lembaga terkait dapat memberikan kebijakan pemutihan untuk catatan kredit kecil di bawah tiga juta rupiah, sehingga masyarakat kembali memiliki peluang mengakses KPR.
Selain itu, hambatan perizinan juga menjadi isu besar bagi pengembang di Jawa Barat. Norman mengungkapkan bahwa terdapat sekitar 37 proyek yang tertunda akibat perubahan penetapan lahan menjadi sawah dilindungi (LP2B). Padahal sebelum pembebasan lahan, pengembang telah memastikan peruntukan lokasi sesuai RTRW dan RDTR. Perubahan mendadak di tengah jalan membuat banyak proyek terhenti, menimbulkan kerugian dan menghambat penyediaan rumah bagi masyarakat.
Terkait capaian organisasi, DPD REI Jawa Barat saat ini menduduki posisi ketiga terbesar di Jawa Barat dari sisi jumlah anggota. Meski demikian, Norman menilai jumlah anggota masih perlu ditingkatkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Realisasi penjualan dari anggota masih belum mencapai target, di mana dari target 500 pengembang aktif, saat ini baru sekitar 427 anggota yang mencatatkan penjualan. Tahun sebelumnya, angka tersebut berada pada kisaran 405–407 anggota, sehingga peningkatannya dinilai belum signifikan.
Masalah iuran anggota juga disoroti karena dianggap relatif tinggi dibandingkan asosiasi lain, terutama bagi para pengembang kecil yang baru memulai usaha. Hal ini, menurut Norman, menjadi salah satu penyebab lambatnya penambahan anggota baru.
Meski beragam tantangan masih membayangi, Norman menegaskan bahwa DPD REI Jawa Barat tetap berkomitmen untuk mendukung penuh percepatan program tiga juta rumah. Ia berharap kebijakan pemutihan SLIK dan penyelesaian hambatan perizinan dapat menjadi bagian dari rekomendasi Rakernas REI 2025, sehingga upaya akselerasi pembangunan perumahan berjalan lebih optimal.
Ia menutup pernyataannya dengan optimisme bahwa apabila hambatan-hambatan tersebut dapat diselesaikan, maka kontribusi Jawa Barat terhadap program nasional perumahan akan meningkat signifikan dan membawa manfaat langsung bagi masyarakat yang membutuhkan hunian layak dan terjangkau.
