Penulis: Kolonel Laut Prof.Dr.Dr. Anwar Kurniadi — Guru Besar Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional, Unhan RI

KOMPASSINDO.COM, Jakarta — Gelombang bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Padang, dan Aceh pada 2025 menjadi salah satu bencana hidrometeorologi terbesar dalam satu dekade terakhir. Dengan jumlah korban meninggal mencapai 833 jiwa—melampaui total korban meninggal dari 2.746 bencana selama 10 bulan sebelumnya—peristiwa ini kembali menggugah kesadaran nasional tentang lemahnya upaya mitigasi dan pentingnya perubahan paradigma penanggulangan bencana di tingkat daerah.

Guru Besar Manajemen Bencana Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan (Unhan RI), Anwar Kurniadi, menyampaikan pandangan kritis dan rekomendasi strategis atas bencana besar ini dalam kajian terbarunya. Ia menekankan bahwa bencana bukan sekadar beban anggaran, melainkan investasi vital bagi keberlanjutan pembangunan.

Bencana Besar yang Menguji Kapasitas Daerah

Menurut Anwar Kurniadi, dampak bencana di Sumut, Padang, dan Aceh sudah memenuhi seluruh kategori bencana besar berdasarkan definisi United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2009) maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Skala kerusakan yang meliputi korban jiwa besar, harta benda, prasarana publik, hingga gangguan pada aktivitas sosial-ekonomi masyarakat menuntut intervensi nasional.

Namun ia menyoroti masih banyaknya kepala daerah yang keliru memaknai status bencana. Dalam berbagai temuan di lapangan, lebih dari 80 persen masyarakat bahkan belum memahami siapa yang berwenang menetapkan status bencana lokal maupun nasional.

“Kebijakan penetapan bencana seharusnya bersandar pada data kajian cepat BPBD daerah. Bila kapasitas daerah tidak mampu menanggulangi dampak bencana, maka kepala daerah wajib mengusulkan status bencana ke pemerintah pusat,” ujarnya.

Polemik Status Bencana dan Peran Pemerintah Pusat

Anwar menilai pernyataan publik seputar “tidak sesuainya informasi dampak bencana antara media sosial dan kondisi lapangan” sempat memicu kegaduhan dan menimbulkan persepsi minimnya kesiapan pemerintah.

Dalam pandangannya, setiap pernyataan resmi pemerintah, khususnya dari BNPB, harus berbasis data akurat dari Deputi Penanganan Darurat agar tidak menimbulkan bias dan misinformasi.

Ia menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional memiliki implikasi besar, termasuk pengambilalihan penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi oleh pemerintah pusat melalui BNPB sebagai koordinator utama.

Penyebab Utama: Aktivitas Manusia dan Tata Kelola Hutan

Selain pengaruh perubahan iklim, Anwar menilai aktivitas manusia yang berlebihan dalam eksploitasi lahan hutan merupakan faktor dominan yang memicu bencana besar tersebut. Kayu-kayu gelondongan yang terbawa arus banjir menjadi bukti adanya aktivitas produksi yang melebihi kapasitas ekosistem.

“Masa depan anak cucu terancam bila pemanfaatan alam tidak bijaksana. Pengelolaan hutan harus dikembalikan pada prinsip keberlanjutan,” tegasnya.

Peraturan penanaman modal dan pembagian hasil sumber daya daerah juga dianggap belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, sehingga banyak daerah kesulitan membiayai upaya pengurangan risiko bencana.

Solusi Pasca Bencana: Revisi Tata Ruang dan Kajian Risiko Ulang

Pemerintah pusat kini diharapkan segera mengoordinasikan pemulihan melalui APBN, melibatkan kementerian terkait seperti PUPR, Sosial, Kesehatan, hingga Pendidikan.

Sementara itu, pemerintah daerah wajib melakukan kajian risiko bencana (KRB) ulang secara komprehensif. Hasil KRB menjadi dasar penting untuk merevisi Peraturan Daerah tentang tata ruang, termasuk penambahan zona konservasi dan zona rawan bencana.

“Kejadian besar ini harus menjadi momentum nasional untuk merevisi tata ruang dan meningkatkan kapasitas daerah. IRBI 2024 menunjukkan penurunan jumlah daerah berisiko tinggi, namun bencana tahun ini kembali menaikkan risiko di berbagai wilayah,” ujar Anwar.

Selain itu, ia menyarankan pemerintah daerah segera memanfaatkan pendekatan pentahelix—melibatkan akademisi, dunia usaha, masyarakat, pemerintah, dan media—untuk memulihkan ekonomi, sosial, serta lingkungan masyarakat terdampak.

Penutup: Pelajaran Kunci bagi Pemerintah Daerah

Anwar Kurniadi menyimpulkan empat lesson learned penting dari bencana besar Sumut–Padang–Aceh 2025:

  1. Pemda harus mengubah paradigma bahwa penanggulangan bencana adalah investasi pembangunan, bukan beban anggaran.
  2. Pernyataan pemerintah terkait status bencana harus berbasis kajian akurat dari lapangan.
  3. Pemerintah pusat berhak mengambil alih penanganan bila kapasitas daerah tidak memadai.
  4. Pemda wajib memperbarui kajian risiko bencana dan tata ruang serta meningkatkan kapasitas daerah secara berkelanjutan.

“Tanpa perubahan mendasar, bencana akan terus merusak pencapaian pembangunan yang sudah susah payah diraih,” tutupnya.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *