JAKARTA, KOMPASSINDO.COM, 18 Agustus 2025 – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama ratusan petani dari berbagai daerah seperti Serikat Petani Pasundan (SPP) yang berasal dari lima kabupaten yakni Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Banjar, turut bergabung dengan Pemersatu Petani Cianjur (PPC), serta Pergerakan Petani Banten (P2B). Mereka bersatu dengan Masyarakat Adat Tano Batak dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dari Jakarta, Bekasi, dan Banten dalam sebuah aksi doa bersama sekaligus deklarasi perlawanan terhadap perampasan tanah, kerusakan lingkungan, serta praktik perbudakan modern yang diduga dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Aksi ini digelar di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada Senin, 18 Agustus 2025.

Kegiatan tersebut menjadi simbol solidaritas kaum tani bersama masyarakat adat yang hingga kini masih berjuang mempertahankan tanah dan wilayah leluhurnya dari ancaman korporasi. Kehadiran PT TPL di wilayah Toba dan Samosir dinilai telah melahirkan banyak konflik agraria dan kerusakan ekologi yang serius.
Momen aksi ini bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Para peserta aksi ingin mengingatkan pemerintah agar tidak melupakan amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan bangsa, khususnya terkait penguasaan tanah dan sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut KPA, apa yang dilakukan PT TPL jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, dalam orasinya menegaskan bahwa UUPA sejatinya mengandung makna teologis yang menempatkan tanah sebagai bagian penting dari kehidupan, bukan sekadar komoditas ekonomi. “Tanah harus dihormati sebagai warisan asal-usul masyarakat adat. Monopoli atas tanah dan praktik eksploitasi manusia oleh manusia lainnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi,” ujarnya.
Dalam deklarasi yang dibacakan, Gereja bersama gerakan rakyat menyampaikan enam bentuk kejahatan agraria dan pelanggaran konstitusi yang dilakukan PT TPL, yakni:
- Perampasan tanah adat milik 23 komunitas masyarakat adat di 12 kabupaten dengan total 33.422,37 hektare, yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat adat, petani, perempuan, serta komunitas lokal lainnya.
- Tindakan kekerasan yang semakin brutal terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak atas tanah mereka.
- Perusakan wilayah adat untuk kepentingan hutan tanaman industri eukaliptus, yang berakibat pada musnahnya hutan, lahan pertanian, serta memicu bencana ekologis.
- Dugaan praktik perbudakan modern terhadap pekerja, dengan pelanggaran serius terhadap hak-hak buruh.
- Upaya mengadu domba masyarakat adat dengan pekerja PT TPL, sehingga menciptakan konflik horizontal.
- Operasi PT TPL dinilai cacat hukum karena difasilitasi pemerintah melalui maladministrasi, manipulasi proses, dan penyalahgunaan kewenangan.
Dewi menambahkan, dengan berpegang pada UUPA 1960, memperkuat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012, serta menjalankan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria, pemerintah memiliki kewajiban untuk segera mengembalikan hak masyarakat adat Tano Batak. Hal ini termasuk pemenuhan hak-hak pekerja PT TPL yang selama ini diabaikan.
Lebih jauh, Dewi menegaskan bahwa permasalahan yang menimpa Masyarakat Tano Batak hanyalah satu contoh dari banyak tragedi agraria yang terjadi di Indonesia. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, lebih dari 1,8 juta petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, serta kelompok miskin di desa dan kota menjadi korban perampasan tanah sebagaimana tercatat dalam laporan tahunan KPA periode 2015–2024.
Ia menekankan, pemulihan hak atas tanah tidak hanya menyelesaikan konflik agraria, tetapi juga membuka jalan untuk mengakhiri monopoli sumber daya agraria dan menciptakan pemerataan akses yang lebih adil. Hal itu penting demi kesejahteraan petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, hingga pekerja PT TPL dan buruh di berbagai sektor.
“Perlawanan ini bukan hanya sekadar reaksi terhadap krisis multidimensi akibat keberadaan PT TPL. Lebih dari itu, ini adalah perjuangan untuk mengembalikan martabat konstitusional masyarakat adat Tano Batak dan hak rakyat Indonesia atas tanah. Gerakan ini adalah konsolidasi bersama untuk mencari solusi nyata serta memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat, petani, dan buruh,” kata Dewi menutup pernyataannya.
Aksi solidaritas tersebut digelar atas inisiatif Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Distrik Jakarta, Bekasi, Deboskab, Banten, bersama Koalisi Rakyat Tutup TPL. Koalisi ini terdiri dari berbagai organisasi, antara lain Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), dan Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS).