JAKARTA, KOMPASSINDO.COM — Ketua I Bidang Organisasi dan Hukum Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan (APTKes) Indonesia, Drs. Zainal Abidin, MM, menanggapi secara kritis dan komprehensif berbagai polemik yang berkembang seputar penyelenggaraan uji kompetensi bagi mahasiswa lulusan perguruan tinggi kesehatan. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengambil kebijakan yang dapat berdampak langsung pada mahasiswa dan masa depan profesi tenaga kesehatan di Indonesia.

“Saat ini muncul kekhawatiran dari sejumlah pihak terhadap model pembelajaran dan evaluasi di perguruan tinggi kesehatan, terutama terhadap praktik di mana perguruan tinggi menjadi pihak yang mengajar sekaligus menguji. Ada anggapan bahwa kondisi ini ibarat ‘jeruk makan jeruk’. Tapi pertanyaannya, benarkah demikian? Sudahkah ada kajian akademik dan hasil penelitian ilmiah yang sahih untuk menyimpulkan bahwa hal tersebut merugikan atau tidak objektif?” ujar Zainal dalam pernyataan resminya.

Ia menambahkan, bahwa jika ditilik secara jujur dan historis, banyak tenaga kesehatan profesional saat ini adalah hasil dari sistem yang dikritik tersebut. “Kita semua yang saat ini berkiprah di dunia kesehatan, sejatinya adalah produk dari sistem yang dituding ‘jeruk makan jeruk’. Lalu mengapa baru hari ini sistem ini dianggap bermasalah?” ungkapnya retoris.

Zainal juga mengingatkan bahwa sistem penilaian dalam dunia pendidikan tinggi telah memiliki standar yang jelas sebagaimana diatur dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Penilaian pembelajaran seyogianya menjadi tanggung jawab dosen pengampu atau tim dosen pengampu yang memiliki pemahaman menyeluruh terhadap proses pembelajaran mahasiswa.

“Penilaian tidak otomatis dilakukan oleh orang yang sama yang mengajar, tetapi bisa oleh tim dosen pengampu, dan itu sudah menjadi mekanisme yang berlaku. Jadi bukan berarti proses tersebut kehilangan objektivitas atau tidak akuntabel,” jelasnya.

Selain itu, Zainal menyoroti pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses evaluasi, terutama dalam ranah praktik klinik. Ia menjelaskan bahwa selama ini penilaian di lapangan telah melibatkan clinical instructor atau instruktur klinik profesi yang ditunjuk langsung oleh pimpinan unit pelayanan kesehatan tempat mahasiswa melakukan praktik. Menurutnya, ini adalah bentuk kolaborasi yang konkret antara institusi pendidikan dan penyedia layanan kesehatan.

Terkait aspek legal, Zainal merujuk kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 213, yang mengatur bahwa penyelenggaraan uji kompetensi dilakukan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan koligium. Baginya, pasal ini menunjukkan pentingnya sinergi dan kolaborasi antara dua institusi penting, bukan dominasi salah satu pihak.

“Inilah yang perlu dikelola dengan baik. Jangan sampai koligium dan perguruan tinggi terjebak dalam perebutan kewenangan yang justru mengorbankan mahasiswa sebagai pihak yang paling terdampak. Mahasiswa tidak boleh menjadi korban tarik menarik kepentingan,” tegasnya.

Dalam penutup pernyataannya, Drs. Zainal Abidin, MM, mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik dari kalangan perguruan tinggi, koligium, kementerian, maupun institusi pelayanan kesehatan, untuk duduk bersama secara profesional dan proporsional. Ia menekankan pentingnya menjunjung tinggi otonomi akademik perguruan tinggi yang telah dijamin oleh undang-undang, sekaligus memperkuat peran independen koligium sesuai fungsi dan tanggung jawabnya.

“Saatnya kita membangun kepercayaan, memperkuat koordinasi, dan mengutamakan kepentingan mahasiswa dan masa depan profesi tenaga kesehatan. Jangan biarkan persoalan teknis berubah menjadi konflik kelembagaan,” tutup Zainal.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *