JAKARTA, KOMPASSINDO.COM – Kenaikan tarif royalti pertambangan nikel hingga 14 persen menuai perhatian dari para pelaku industri tambang. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun merespons dengan pendekatan yang konstruktif dan diplomatis, menekankan pentingnya transparansi serta kolaborasi antara pelaku usaha dan pemerintah.

Ketua Bidang Perizinan APNI, Ense Da Cunha Solapung, menegaskan bahwa meskipun margin keuntungan perusahaan tambang nikel di wilayah hulu memang terdampak akibat kenaikan royalti, namun hingga saat ini belum ada indikasi kerugian yang signifikan.

“Setelah kami konfirmasi ke beberapa perusahaan penambang nikel, mereka masih mencatatkan keuntungan dalam laporan keuangan triwulan, meski harus membayar royalti PNBP sebesar 10 persen,” ujar Ense saat menghadiri acara Halal Bihalal Bersama Asosiasi Pertambangan Indonesia 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

Menurut Ense, beberapa faktor turut membantu menjaga kestabilan keuntungan, seperti adanya tambahan harga dari pembelian smelter—dikenal dengan HPM+—yang bisa mencapai 12 hingga 15 dolar AS per ton sebagai kompensasi biaya transportasi.

Tak hanya itu, sejumlah smelter bahkan memberikan insentif tambahan melalui skema “jorjoran” untuk mengamankan pasokan bijih nikel dari para penambang. “Hal ini tentunya menjaga agar margin keuntungan tetap terbuka, meskipun kenaikan royalti memang menekan profitabilitas,” imbuhnya.

Namun Ense menegaskan bahwa penting untuk bersikap jujur dan objektif dalam menyikapi kondisi ini. “Dengan kenaikan 14 persen ini, memang keuntungan berkurang, tapi bukan berarti rugi. Pemerintah tentu punya akses ke data laporan keuangan perusahaan. Tidak mungkin mereka mengambil kebijakan yang akan mematikan usaha tambang,” ujarnya lugas.

Lebih jauh, Ense menyoroti pentingnya keterbukaan data dan kerja sama antara pelaku usaha dan pemerintah agar dapat merumuskan solusi yang ideal. Menurutnya, kebijakan yang efektif hanya bisa diambil jika semua pihak saling memahami kondisi lapangan secara transparan.

“Kita harus jujur. Kalau laporan keuangannya tidak menunjukkan kerugian, ya kita sampaikan tidak rugi. Tapi kita ajukan solusi. Misalnya, kenaikan royalti bisa ditunda atau disesuaikan dengan tata kelola dan verifikasi yang lebih baik,” usulnya.

Selain itu, Ense turut mengkritisi dasar penetapan harga patokan nikel sebesar US$18.000 per ton dalam penerapan royalti 14 persen. Ia menilai angka tersebut kurang mencerminkan realitas pasar, mengingat harga nikel di London Metal Exchange (LME) dalam dua tahun terakhir hanya berada pada kisaran US$15.000–US$16.000 per ton.

“Harusnya kalau harga nikel di atas US$16.000 per ton, barulah dikenakan 14 persen. Tapi kalau di bawah itu, cukup 10 persen. Itu baru adil. Negara tetap dapat bagian, dan pengusaha juga tidak tercekik,” tegasnya.

Menutup pernyataannya, Ense menyampaikan harapan agar hubungan antara pengusaha tambang dan pemerintah terus dibangun secara kolaboratif dan produktif demi kemajuan bersama.

“Kita semua bekerja demi kemajuan bangsa. Kalau PNBP dikelola dengan baik dan didukung kebijakan yang berpihak pada iklim usaha yang sehat, hasilnya bukan hanya dinikmati pelaku industri, tapi juga akan berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.

Acara Halal Bihalal Asosiasi Pertambangan Indonesia 2025 ini menjadi momen penting dalam mempererat silaturahmi antarpelaku industri pertambangan, sekaligus memperkuat koordinasi lintas sektor untuk mendorong pertumbuhan industri tambang yang berkelanjutan dan berkontribusi nyata bagi negara.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *