JAKARTA, KOMPASSINDO.COM – Pemisahan status kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Danantara dari kategori kerugian negara dinilai dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, menegaskan bahwa langkah ini bisa menjadi celah bagi pelaku korupsi untuk berlindung di balik regulasi yang justru melemahkan pengawasan hukum terhadap pengelolaan keuangan negara.

Regulasi yang Melemahkan Pengawasan

Menurut Arifin, aturan ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika kerugian yang terjadi di BUMN dan anak perusahaannya tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, maka akan sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi.

“Ini sama saja memberi kekebalan hukum bagi para pelaku. Bagaimana mungkin negara tidak dirugikan ketika uang rakyat yang dikelola BUMN diselewengkan? Jika aturan ini berlaku, maka pemberantasan korupsi bisa lumpuh,” tegasnya.

Sebelumnya, akademisi hukum Rega Felix telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang BUMN yang dianggap berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi. Pasal-pasal yang dipersoalkan, seperti Pasal 3H ayat (2) dan Pasal 4B, menyatakan bahwa kerugian BUMN dan Danantara bukan merupakan kerugian negara. Selain itu, Pasal 3X ayat (1), Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) menegaskan bahwa pejabat dan karyawan BUMN bukan penyelenggara negara.

Rega Felix menilai aturan ini dapat menghambat kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, unsur utama dalam menindak korupsi adalah adanya kerugian negara. Jika sejak awal telah ditetapkan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara, maka ruang gerak KPK dalam menangani kasus korupsi di BUMN akan semakin terbatas,” ujarnya.

Dampak terhadap Penegakan Hukum

Selain itu, perubahan status pejabat BUMN dan Danantara yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara juga dinilai berisiko tinggi bagi penegakan hukum.

“Dalam Pasal 5 UU Tipikor disebutkan bahwa penerima gratifikasi harus merupakan penyelenggara negara. Jika pejabat BUMN tidak lagi masuk kategori tersebut, maka mereka bisa lolos dari jeratan hukum, meskipun menerima suap dalam jumlah besar,” kata Arifin.

LSM PENJARA 1 menilai bahwa aturan ini bertentangan dengan berbagai regulasi yang selama ini digunakan untuk menindak korupsi. Beberapa di antaranya adalah:

  • Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor: Menyebutkan bahwa tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana hingga seumur hidup.
  • Pasal 3 UU Tipikor: Menjelaskan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara bisa dihukum hingga 20 tahun penjara.
  • Pasal 5 UU Tipikor: Mengatur pidana bagi pihak yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara untuk kepentingan tertentu.

Menurut Arifin, jika status pejabat BUMN diubah, maka pembuktian kasus korupsi akan semakin sulit. “BUMN mengelola dana triliunan rupiah yang berasal dari negara. Jika terjadi korupsi di dalamnya, jelas itu merupakan kerugian negara. Upaya untuk memisahkan keduanya hanya akan memperlemah pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Ancaman terhadap Stabilitas Ekonomi dan Kepercayaan Publik

Selain melemahkan pengawasan hukum, Arifin juga menyoroti dampak besar aturan ini terhadap stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik. Ia mencontohkan skandal 1MDB di Malaysia, di mana dana negara diselewengkan oleh pejabat perusahaan negara hingga miliaran dolar AS.

“Jika aturan ini diterapkan di Indonesia, kita bisa saja menghadapi kasus korupsi besar yang sulit ditindak, seperti yang terjadi di Pertamina. Dugaan korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah baru saja mencuat, dan jika aturan ini tetap berlaku, para pelaku bisa lebih mudah menghindari jerat hukum,” katanya.

Karena itu, LSM PENJARA 1 mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal dalam UU BUMN yang berpotensi melemahkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap korupsi di BUMN dan Danantara.

“Kami akan terus mengawal proses ini dan mendesak MK untuk berpihak kepada kepentingan bangsa. Jika regulasi ini dibiarkan, maka pemberantasan korupsi di Indonesia akan mengalami kemunduran besar,” pungkas Arifin.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *