KOMPASSINDO.COM, JAKARTA – Partai Golkar menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) nasional untuk anggota Fraksi Golkar DPRD provinsi serta kabupaten/kota seluruh Indonesia pada 22–24 September 2025 di Grand Ballroom Hotel Pullman Senayan Park, Jakarta. Acara yang dihadiri ribuan legislator daerah ini membahas isu-isu strategis, mulai dari dinamika politik nasional hingga agenda pembangunan daerah berbasis hilirisasi ekonomi.
Amanah Upara, S.IP., M.I.P., anggota Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Sula yang juga Ketua Bapemperda dan Wakil Ketua MPO Golkar Maluku Utara, menyampaikan pandangan kritisnya dalam wawancara dengan awak media di sela kegiatan tersebut. Ia menegaskan pentingnya sinkronisasi kebijakan pusat dengan kondisi daerah, khususnya terkait pertambangan dan hilirisasi.
“Tema hilirisasi seharusnya dijelaskan secara komprehensif karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang ijin usaha pertambangan. UU memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk memberikan ijin pengelolaan pertambangan kepada para pengusaha. Padahal sumberdaya alam tambang hampir sebagian besar tersebar di kabupaten/kota di Indonesia, tetapi kewenangan pemerintah daerah dan DPRD hampir tidak ada sama sekali dalam UU pertambangan tersebut, namun ketika terjadi demonstrasi masyarakat dan mahasiswa untuk menolak ijin pertambangan pemerintah daerah dan DPRD kab/kota yang menjadi sasaran tembak para demonstran” ungkap Amanah Upara.
Ia menyoroti adanya izin pertambangan yang ditandatangani di tingkat pusat, sebagian berada di hutan lindung maupun lahan pertanian masyarakat, misalnya 10 IUP di Pulau Mangoli Kab. Kepuluan Sula Provinsi Maluku Utara, menurutnya pemerintah pusat perlu mempertimbangkan kembali ijin operasional pertambangan di Kab. Kepuluan Sula karena ijin tersebut sebagian besar berada di lingkungan pedesaan dan lahan pertanian/perkebunan masyarakat jika ijin tambang tersebut dieksplorasi tidak memiliki Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang baik, maka eksploitasi tambang akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lingkar tambang.
Selain isu pertambangan, Amanah Upara juga menyoroti lemahnya posisi DPRD dalam pengawasan eksekutif. Ia menilai DPRD kabupaten/kota masih dilekatkan pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, sehingga fungsi pengawasan belum berjalan efektif. Tidak berjalannya fungsi pengawasan DPRD kurang efektif karena menurut UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah keuangan DPRD melekat dengan kewenangan pemerintah daerah akibatnya ketika DPRD kritis mengawasi pemerintah maka DPRD dipersulit dalam hal penganggaran terutama perjalan dinas dan pokok pikiran (pokir) DPRD, padahal pokir merupakan aspirasi masyarakat yang diusulkan oleh masyarakat melalui reses DPRD.
Agar fungsi DPRD berjalan secara baik dan efektif Amanah Upara menyarankan agar perlu dipisahkan UU pemerintahan daerah dan UU DPRD, oleh karena itu DPR RI diharapkan agar dapat membuat UU yang mengatur tentang DPRD provinsi, kabupaten/kota dan DPRD perlu memiliki satker keungan tersendiri, hal bertujuan agar DPRD memiliki kemandirian politik dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Amana Upara juga menyoroti tentang Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, dengan adanya efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat akhirnya berpengaruh terhadap kinerja dan fungsi pengawasan DPRD terhadap kepala daerah. Selain itu dengan adanya efisiensi juga berpengaruh negatif terhadap perekonomian daerah daya beli masyarakat menurun, rumah makan, restoran, pasar, hingga perhotelan juga merasakan dampak negatif dari efisiensi anggaran tersebut. Oleh karena itu Amanah Upara berharap agar Inpres tersebut perlu dipertimbangkan untuk dicabut oleh pemerintah pusat.
Menyinggung dinamika politik, Amanah Upara juga mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap Partai Golkar, termasuk sikap terkait putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemisahan Pemilu. Menurutnya, DPP Golkar perlu memperjuangkan agar pemilu legislatif dan pilkada dipisahkan demi efektivitas kerja DPRD dan keterwakilan rakyat.
Di sisi lain, ia juga mengusulkan agar ke depan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, bukan secara langsung. “Biaya politik Pilkada langsung sangat besar. Dengan mekanisme kepala daerah dipilih DPRD, potensi korupsi bisa ditekan dan politik uang berkurang. Tentu saja syaratnya DPRD harus diperkuat dan aparat penegak hukum harus bersih,” tegasnya.
Amanah Upara menutup dengan harapan agar DPR RI mampu memperjuangkan regulasi yang berpihak pada daerah dan memperkuat peran DPRD. “Semua ini demi kebesaran Partai Golkar dan masa depan Indonesia yang lebih baik,” pungkasnya.