KOMPASSINDO.COM, Jembrana, April 2025 – Ketua Pengadilan Agama Negara, Bali, Ratu Ayu Rahmi (tuyumi08), menyampaikan pandangan kritisnya mengenai pentingnya peran perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan anak-anak setelah perceraian. Menurutnya, Mahkamah Agung (MA) telah melakukan banyak langkah progresif dengan menerbitkan berbagai aturan dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan dan anak. Namun, ia menegaskan bahwa keberhasilan perlindungan hukum tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga sangat ditentukan oleh inisiatif perempuan pencari keadilan itu sendiri.

Ratu menjelaskan bahwa Mahkamah Agung selama beberapa tahun terakhir telah mengeluarkan berbagai produk hukum, mulai dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 hingga sejumlah Surat Edaran Mahkamah Agung, yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Aturan-aturan tersebut mencakup hak nafkah masa iddah, mut’ah, maskan, kiswah, nafkah lampau, nafkah anak, pembagian harta bersama, bahkan hingga mekanisme penundaan sidang ikrar talak maupun penahanan akta cerai sebagai jaminan agar kewajiban suami terpenuhi terlebih dahulu.

“Langkah-langkah yang dilakukan Mahkamah Agung ini luar biasa, sangat progresif, responsif, dan menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap perempuan yang sering kali dirugikan dalam perkara hukum keluarga. Namun, persoalannya adalah apakah cukup hanya dengan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk menjamin perlindungan hak perempuan dan anak pasca perceraian?” ujar Ratu.

Ia menekankan bahwa penegakan hukum keluarga adalah sebuah sistem yang melibatkan banyak pihak. Selain hakim, keberhasilan sistem ini juga sangat bergantung pada para perempuan itu sendiri. Hakim memang memiliki kewenangan terbatas dalam ranah materiil perkara, sehingga perempuan harus berani mengajukan tuntutan atas hak-haknya, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak mereka.

Ratu kemudian membagikan pengalamannya ketika memeriksa perkara perceraian seorang istri yang mengasuh tiga anak, namun memilih untuk tidak menuntut nafkah dari suaminya dengan alasan tidak ingin ribet. Padahal, menurut Ratu, kewajiban nafkah bukan sekadar soal uang, tetapi juga soal tanggung jawab seorang ayah dan ikatan emosional antara orang tua dan anak.

“Dalam perkara itu saya mendorong agar setidaknya anak-anak mendapat hak nafkah meskipun jumlahnya tidak besar. Hal ini penting untuk membiasakan tanggung jawab ayah terhadap anak sekaligus menyelamatkan ayah dari kesalahan karena lalai menunaikan kewajibannya,” jelasnya.

Lebih jauh, Ratu menyebutkan bahwa perempuan dan anak memiliki peran yang sangat besar dalam sistem perlindungan hukum. Mereka adalah pihak yang berkepentingan, pihak yang memiliki inisiatif, pihak yang berhak menuntut, penerima manfaat, sekaligus pihak yang merasakan dampaknya secara langsung. Oleh karena itu, Rahmi mendorong agar perempuan tidak menyerah pada paradigma “tidak mau ribet” atau “biar saja yang penting cerai”, melainkan berani memperjuangkan hak-hak yang sudah dilindungi hukum.

Dengan semakin banyaknya aturan progresif yang dikeluarkan Mahkamah Agung, Rahmi optimistis perlindungan terhadap perempuan dan anak pasca perceraian dapat berjalan lebih baik. Namun demikian, keberhasilan nyata dari aturan tersebut hanya akan terwujud jika para perempuan sendiri aktif memperjuangkannya di hadapan hukum.

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *