JAKARTA, KOMPASSINDO.COM – Ribuan masyarakat dari berbagai kalangan berkumpul di Jakarta dalam kegiatan “Long March dan Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup”, Senin (18/8). Aksi yang digelar mulai dari Kantor PGI hingga Tugu Proklamasi ini menjadi momentum refleksi dan solidaritas atas krisis ekologis yang melanda kawasan Danau Toba dan Tapanuli Raya.
Sekitar 2.500–3.000 orang terlibat dalam kegiatan tersebut, terdiri dari jemaat gereja, mahasiswa, petani, masyarakat adat, komunitas sipil, hingga kelompok pemuda lintas organisasi. Mereka berjalan bersama sambil membawa poster, spanduk, dan doa, sebagai simbol kepedulian terhadap alam yang kian rusak akibat berbagai praktik eksploitasi.
Isu yang menjadi sorotan dalam kegiatan ini antara lain perampasan tanah adat, penggundulan hutan, pencemaran Danau Toba, bencana ekologis yang berulang, hingga kriminalisasi masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan leluhur mereka. Semua itu dipandang sebagai persoalan serius yang mengancam keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Sesampainya di Tugu Proklamasi, acara dilanjutkan dengan doa bersama, orasi dari para pemimpin gereja, serta pembacaan dan penandatanganan deklarasi lingkungan hidup oleh para ketua distrik HKBP, organisasi masyarakat, dan mahasiswa. Deklarasi ini menegaskan komitmen bersama untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama, serta melawan praktik perusakan lingkungan yang mengabaikan kehidupan rakyat kecil.

Dalam sambutannya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacky Manuputty, menyampaikan pesan tegas bahwa gereja harus hadir di tengah persoalan ekologis, tidak boleh hanya diam di balik liturgi.
“Gereja tidak bisa hanya memelihara liturgi di dalam tembok-tembok gereja, sementara tanah di luar hancur oleh perilaku ekstraktif dan eksploitasi tanpa batas. Mimbar gereja sejatinya harus berada di tengah alam, di bawah langit terbuka, di antara suara burung dan gemericik air. Di sanalah kita belajar bahasa ciptaan dan menyadari bahwa bumi bukan sekadar latar belakang, melainkan saudara kita,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Ia menambahkan, keberpihakan gereja pada kehidupan harus diwujudkan melalui keberanian untuk menolak segala bentuk perusakan lingkungan.
“Gereja harus berani berkata tidak kepada tambang yang meracuni air, kepada pembakaran hutan demi keuntungan, serta kepada pembangunan yang mengabaikan kehidupan. Surga bukanlah pelarian dari tanggung jawab kita di bumi. Jika mimbar tidak berbicara tentang bumi yang terluka, maka mimbar itu telah kehilangan relevansinya. Gereja harus menjadi kekuatan penyembuh, bukan perusak,” tegasnya.
Lebih jauh, Pdt. Jacky Manuputty menegaskan bahwa PGI bersama sinode-sinode gereja di Indonesia sejak lama mengambil sikap kritis terhadap perusahaan ekstraktif yang rakus, menelantarkan masyarakat, dan merusak hutan. Ia mengingatkan pemerintah agar mendengarkan suara rakyat sekaligus mengembangkan kebijakan ekonomi hijau yang lebih berpihak pada keberlanjutan.
“Merdeka bukan hanya milik segelintir orang atau perusahaan, melainkan hak seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dan tanah leluhurnya. Momentum kemerdekaan ini adalah saat yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa menjaga bumi adalah panggilan iman sekaligus amanat kemerdekaan,” pungkasnya.
Acara ini berlangsung khidmat sekaligus penuh semangat, dengan peserta menyanyikan lagu-lagu rohani, doa lintas komunitas, dan orasi yang menggugah kesadaran bersama. Aksi “Long March dan Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup” di Jakarta ini menegaskan bahwa isu lingkungan bukan sekadar agenda kelompok tertentu, tetapi sudah menjadi seruan moral, spiritual, dan kebangsaan yang perlu mendapat perhatian semua pihak.