Pemerhati Adat Masyarakat Sulawesi Tenggara – Dr. Yusuf Tawulo
Bagian 1: Masyarakat Adat Kita, Identitas yang Mulai Terkelupas
Kendari, KOMPASSINDO.COM, 12 Juli 2025 –
Masyarakat adat bukan sekadar warisan leluhur, tetapi jiwa yang membentuk wajah dan arah suatu peradaban. Sulawesi Tenggara, tanah yang kaya akan ragam suku dan budaya, telah lama menjadi mozaik indah yang dibangun oleh kebesaran adat dan kearifan lokalnya. Namun hari ini, sebagai pemerhati masyarakat adat Sulawesi Tenggara, saya melihat bahwa mozaik itu mulai retak di banyak sisi—bukan karena hilangnya adat, tapi karena belum adanya pengikat utuh antar-suku yang bisa menyatukan tanpa menghapus identitas.
Di Sulawesi Tenggara, kita mengenal suku Muna, suku Buton, suku Tolaki, dan suku Moronene. Masing-masing memegang kuat adat dan sistem kekerabatan sendiri. Namun selama ini, kehadiran mereka masih berjalan sendiri-sendiri, tanpa lembaga induk yang dapat memayungi semua entitas adat tersebut secara kolektif. Bahkan suku-suku pesisir seperti Bugis, Makassar, dan Bajo yang turut mengisi garis laut Sultra, kerap kali dilupakan dalam pembicaraan adat yang formal. Padahal, keberadaan mereka adalah bagian sah dari Sultra, yang seharusnya dilibatkan dalam tatanan adat ke depan.
Saya percaya, sudah saatnya kita mulai membicarakan penyatuan kelembagaan adat Sulawesi Tenggara. Bukan untuk menyeragamkan adat, tetapi justru untuk memperkuat keberadaan masing-masing dalam satu wadah besar: Lembaga Adat Sulawesi Tenggara. Di lembaga inilah, semua suku bisa duduk bersama, saling memberi suara, saling menjaga marwah, serta memperjuangkan hak dan warisan budaya secara bersama-sama.
Peran lembaga ini sangat strategis—sebagai mitra pemerintah daerah, penengah konflik horisontal, pelindung hukum adat, dan sekaligus garda depan dalam pelestarian nilai-nilai luhur. Inilah kerja besar yang membutuhkan pemikiran mendalam, hati yang jernih, dan keberanian bertindak.
Saya menyampaikan ini bukan karena ambisi pribadi, tetapi karena keyakinan saya yang kuat bahwa masyarakat adat kita harus memiliki satu arah yang jelas dan terorganisir. Jika ke depan, Allah takdirkan saya untuk menjadi Ketua Adat Sulawesi Tenggara, maka itu akan menjadi jalan perjuangan saya untuk menyatukan, bukan mencampuradukkan, keberagaman adat kita dalam satu ruang yang berdaulat.
Tulisan ini bukan akhir. Ini adalah awal dari serangkaian gagasan yang akan saya sampaikan hari demi hari, untuk menggugah, membangun, dan mengajak semua pihak, khususnya anak-anak adat Sulawesi Tenggara, agar mulai menyadari betapa berharganya jati diri kita sebagai pemilik tanah, laut, dan langit yang diwariskan para leluhur.
Besok, saya akan menulis lagi. Kita akan bicara lebih dalam tentang pentingnya legitimasi lembaga adat dalam konteks hukum dan tata pemerintahan daerah. Mari kita jaga adat, mari kita tegakkan harga diri masyarakat adat Sulawesi Tenggara.
Salam Hormat,
Dr. Yusuf Tawulo
Pemerhati Masyarakat Adat Sulawesi Tenggara