Surakarta, KOMPASSINDO.COM, 22 Mei 2025 – Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan tengah mengerjakan proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dengan melibatkan 113 sejarawan dan arkeolog dari berbagai perguruan tinggi dan latar belakang keahlian. Proyek ini menjadi sorotan publik, memunculkan diskusi hangat mengenai potensi penggunaan sejarah sebagai alat politik negara.
Dalam Seminar Nasional Pendidikan Sejarah bertema “Narasi Sejarah dalam Buku Ajar Sekolah: Antara Fakta, Interpretasi, dan Kebutuhan Kurikulum” yang diselenggarakan di Universitas Sebelas Maret (UNS), Kamis (22/5), Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma menyatakan dukungannya terhadap proyek ini, terutama jika ditujukan untuk kepentingan bangsa dan pendidikan.
“Sejarah Indonesia memang harus bermuatan ideologis dalam rangka menjaga keutuhan, identitas, dan karakter bangsa,” ujarnya. “Penulisan ulang SNI diharapkan dapat memperkuat memori kolektif bangsa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum pendidikan sejarah serta referensi terpercaya bagi masyarakat luas, khususnya guru, dosen, mahasiswa, dan siswa.”
Namun, Sumardiansyah menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam proses ini. Ia menyerukan agar pemerintah mengedepankan pendekatan kritis dan inklusif, serta membuka ruang partisipasi yang bermakna. “Sejarah harus memberi tempat bagi keberagaman, terutama mereka yang selama ini kerap terpinggirkan seperti komunitas peranakan (Tionghoa, Arab, Eropa), kaum perempuan, rohaniawan, petani, buruh, jurnalis, guru, dan masyarakat adat,” tegasnya.
Direktur Sejarah dan Permuseuman, Agus Mulyana, menjelaskan bahwa penulisan SNI tidak berorientasi pada politik praktis, melainkan pada politik kebangsaan yang bertujuan memperkuat nation and character building. Menurutnya, SNI akan menjadi sumber utama dalam penulisan buku ajar sejarah dan memperkuat posisi mata pelajaran sejarah di dalam kurikulum nasional.
“Penulisan ini dilakukan oleh akademisi dari berbagai perguruan tinggi yang mewakili wilayah dan bidang keahlian yang beragam, dengan menjunjung tinggi prinsip metodologi sejarah dan penggunaan data yang valid,” ujar Agus.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Profesi Guru, Nunuk Suryani, menyampaikan pentingnya peran guru dalam menyampaikan sejarah secara kritis dan berdasarkan sumber-sumber yang kredibel. “Guru sejarah harus meningkatkan kompetensinya secara berkelanjutan, baik melalui pelatihan maupun pendidikan lanjutan, agar mampu membangun kesadaran sejarah pada peserta didik,” ungkapnya.
Seminar nasional ini dihadiri oleh mahasiswa, guru, dosen, pegiat museum, kaprodi jenjang S1, S2, dan S3 Pendidikan Sejarah, serta Dekan FKIP UNS, sebagai wujud nyata sinergi antara akademisi dan pemangku kepentingan dalam membangun narasi sejarah yang inklusif dan edukatif bagi generasi mendatang.