Oleh: Sri Mulyono, Sekjen Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)
Presiden Prabowo telah mengambil langkah besar dalam upaya efisiensi anggaran dengan memangkas anggaran kementerian dan lembaga hingga Rp 256,1 triliun serta dana transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun. Langkah ini diambil karena selama ini kebocoran APBN mencapai lebih dari 30%, diperburuk oleh banyaknya pos anggaran yang tidak masuk akal dan boros. Dengan efisiensi yang dilakukan, program-program pembangunan tetap dapat berjalan tanpa pemborosan yang merugikan negara.
Namun, ada satu sumber anggaran besar yang selama ini nyaris tak tersentuh, yaitu cicilan utang obligor BLBI yang mencapai Rp 80 triliun per tahun. Sejak 1999 hingga 2033, utang ini terus dibayar oleh negara—bukan oleh para obligor yang bertanggung jawab. Logikanya sederhana: yang berutang adalah para obligor BLBI, tetapi mengapa justru negara (rakyat) yang harus menanggungnya?
Ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan. Rakyat yang sudah menderita akibat kejahatan para obligor BLBI justru masih harus dibebani untuk membayar utang mereka, yang totalnya lebih dari Rp 1.000 triliun dengan cicilan Rp 80 triliun per tahun selama 34 tahun. Sementara itu, para obligor tetap kebal hukum, dilindungi, dan dimanjakan oleh para pemegang kekuasaan karena kekayaan mereka mampu “membeli” segalanya.
Jika Presiden Prabowo ingin menciptakan sejarah baru dan meninggalkan legacy “Indonesia Bersih, Jujur, dan Berkah,” maka salah satu langkah awalnya adalah memaksa para obligor BLBI membayar utang mereka. Rakyat pasti akan mendukung penuh upaya ini.
Pertanyaannya: apakah pemerintahan Presiden Prabowo berani dan mampu melakukannya?
Para obligor BLBI bukan orang biasa. Mereka adalah konglomerat yang menguasai sektor ekonomi dan politik Indonesia. Jika Presiden Prabowo mampu menegakkan keadilan dengan memastikan mereka membayar cicilan Rp 80 triliun per tahun selama 8 tahun ke depan, maka negara dapat menghemat Rp 680 triliun—sebuah angka yang luar biasa untuk meringankan beban APBN dan rakyat.
Jadi, sekali lagi, pertanyaannya: opo wani? Opo iso?