JAKARTA, KOMPASSINDO.COM – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Tim Hukum Merah Putih (THMP), M Kunang, menyoroti berbagai kendala hukum dalam perkawinan campuran dan perlindungan anak di luar negeri. Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertajuk Aduan kepada Mas Wapres yang digelar pada Selasa, 11 Februari 2025, di Kawisari Cafe, Kebon Sirih No. 77, Jakarta.
Dalam wawancara dengan awak media, M Kunang menegaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki banyak peraturan terkait hukum keluarga dan kewarganegaraan, masih ada tantangan besar dalam mengatasi kasus-kasus yang melibatkan warga negara asing (WNA) dan WNI yang menetap di luar negeri. “Masalah utama adalah banyak aturan internasional yang belum kita ratifikasi. Ini menjadi kendala besar dalam menyelesaikan sengketa hukum, terutama yang berkaitan dengan perkawinan campuran dan hak asuh anak,” ujarnya.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian dalam diskusi ini adalah permasalahan seorang ibu yang berstatus WNI dengan suami berkewarganegaraan Filipina. Dalam kasus seperti ini, perbedaan kewarganegaraan sering kali menjadi hambatan besar dalam penyelesaian hukum, terutama ketika terjadi sengketa hak asuh anak atau dugaan penculikan anak oleh salah satu orang tua. “Jika suami istri memiliki kewarganegaraan yang berbeda dan tinggal di luar negeri, aturan kita belum cukup untuk menjangkau penyelesaian yang adil,” tambahnya.
M Kunang menekankan bahwa dalam beberapa kasus, pengadilan telah mengeluarkan putusan yang seharusnya menjadi dasar bagi negara untuk memulangkan anak ke Indonesia. Namun, karena belum adanya mekanisme internasional yang kuat, proses ini sering kali terhambat. “Jika seseorang sudah memiliki putusan pengadilan, seharusnya negara bisa bertindak lebih cepat. Sayangnya, sistem hukum kita masih memiliki keterbatasan dalam mengeksekusi putusan di tingkat internasional,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya peran aktif pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang melibatkan warga negara Indonesia di luar negeri. Menurutnya, kementerian terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Hukum dan HAM, harus lebih responsif dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut perlindungan anak dan keluarga. “Ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga persoalan kemanusiaan. Anak-anak yang menjadi korban dalam kasus seperti ini adalah generasi penerus bangsa, dan negara harus hadir untuk melindungi mereka,” tegasnya.
Selain membahas persoalan perkawinan campuran, M Kunang juga menyoroti fenomena koruptor yang melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari jeratan hukum di Indonesia. Ia menilai bahwa pemerintah harus lebih serius dalam menangani masalah ini, termasuk dengan memperkuat perjanjian ekstradisi dengan negara lain. “Kita sudah sering melihat kasus koruptor yang lari ke luar negeri dan sulit ditangkap. Ini menunjukkan bahwa kita perlu mekanisme yang lebih kuat untuk memastikan keadilan ditegakkan,” katanya.
Diskusi ini membuka wawasan baru tentang berbagai tantangan hukum yang dihadapi oleh WNI di luar negeri, khususnya dalam kasus perkawinan campuran dan hak asuh anak. Diharapkan, melalui diskusi seperti ini, pemerintah semakin terdorong untuk meratifikasi perjanjian internasional yang dapat mempercepat penyelesaian kasus-kasus hukum lintas negara, demi melindungi hak-hak warga negaranya.