JAKARTA, KOMPASSINDO.COM, 30 Januari 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, dengan agenda pemeriksaan perkara Nomor 242/PHPU.BUP-XXIII/2025. Sidang yang berlangsung di Gedung MK ini berfokus pada jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Nduga sebagai pihak termohon serta pengesahan alat bukti.
Dalam sidang yang dimulai pukul 13.00 WIB, Ketua Tim Kuasa Hukum KPU Kabupaten Nduga, Matheus Mamun Sare, menegaskan bahwa permohonan yang diajukan pasangan calon nomor urut 1, Nemia Gwijangge, S.Pd., M.Si., dan Obed Gwijangge, tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena penuh dengan ketidakkonsistenan dan tidak memenuhi syarat ambang batas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilihan.
Dalil Pemohon Tidak Jelas dan Melebihi Ambang Batas yang Ditentukan
Matheus mengungkapkan bahwa dalam gugatan yang diajukan, pemohon mempersoalkan hasil perolehan suara tanpa menyertakan perhitungan yang jelas dan konsisten. Ia menyoroti adanya ketidaksesuaian data yang diajukan pemohon, di mana terdapat perbedaan angka perolehan suara dalam berbagai dokumen yang disampaikan.
Pemohon mengatakan yang ditetapkan oleh Termohon (KPU Kabupaten Nduga) adalah sebanyak 46.167 suara dan Pihak Terkait sebanyak 51.815 suara, tetapi Pemohon mendalilkan Perolehan Suara Pemohon dengan angka berbeda, yaitu yaitu 51.806 suara dan bahkan 59.068 suara. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam gugatan,” ujar Matheus saat ditemui di Gedung MK RI.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), jumlah penduduk Kabupaten Nduga hanya mencapai 111.597 jiwa. Sesuai regulasi, daerah dengan jumlah penduduk di bawah 250.000 jiwa hanya memiliki ambang batas sengketa sebesar 2% dari total suara sah.
“Dalam perkara ini, selisih suara yang dipersoalkan pemohon mencapai 5,76%, jauh melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Maka, berdasarkan aturan yang berlaku, permohonan ini seharusnya ditolak,” tegasnya.
Ketidaksesuaian Posita dan Petitum dalam Gugatan
Matheus juga menyoroti adanya inkonsistensi antara posita (uraian fakta dan hukum dalam gugatan) dengan petitum (tuntutan yang diajukan). Ia mengungkapkan bahwa dalam posita, pemohon hanya mencantumkan 20 distrik yang menjadi objek sengketa. Namun, dalam petitum, jumlah distrik yang disebutkan bertambah menjadi 21 distrik.
“Pemohon tidak mencantumkan Distrik Pija Kampung Nganai TPS 001 dalam posita, tetapi dalam petitum justru menambah distrik tersebut. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam gugatan yang berimplikasi pada lemahnya dalil yang diajukan,” jelas Matheus.
Ia menambahkan bahwa dalam bagian lain gugatan, jumlah suara yang diklaim oleh pemohon juga tidak konsisten. Dalam satu bagian permohonan, pemohon menyebutkan memperoleh 97.982 suara, sementara di bagian lain angka tersebut berubah menjadi 97.983 dan 97.984 suara.
“Dengan begitu banyaknya perbedaan angka dalam gugatan, sulit untuk menyimpulkan bahwa permohonan ini memiliki dasar hukum yang kuat. Mahkamah Konstitusi tentu harus mempertimbangkan hal ini dalam mengambil keputusan,” imbuhnya.
Pemohon Secara Prinsip Mengakui Hasil yang Ditetapkan KPU
Lebih lanjut, Matheus menyatakan bahwa setelah mencermati seluruh dalil yang diajukan, KPU menilai pemohon secara prinsip sebenarnya telah mengakui hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU Kabupaten Nduga.
Berdasarkan Surat Keputusan KPU Kabupaten Nduga Nomor 829 tentang Penetapan Hasil Perolehan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nduga Tahun 2024 yang dikeluarkan pada 7 Desember 2024, hasil yang telah ditetapkan sejatinya sejalan dengan data yang akhirnya diakui sendiri oleh pemohon.
“Oleh karena itu, dengan berbagai ketidakkonsistenan dalam perhitungan suara serta ketidaksesuaian antara posita dan petitum, kami meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ini secara keseluruhan,” pungkasnya.
Sidang sengketa Pilkada Kabupaten Nduga ini menjadi sorotan publik, mengingat pentingnya kepastian hukum dalam proses pemilihan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan keputusan yang adil dan sesuai dengan regulasi yang berlaku demi menjaga legitimasi hasil Pilkada di Indonesia.